June 26, 2011 at 8:10pm
Faktor-faktor
apakah yang sangat mempengaruhi hasil akhir sebuah perang? Tembakan,
pasukan cadangan dan kehadiran pemimpin, demikian dikatakan oleh
Ryamizard Ryacudu dalam diskusi Pembasisan Pancasila Pergerakan Kebangsaan
yang sekarang ini telah memasuki tahun ke tujuh dengan Pergerakan
Kebangsaan. Diskusi yang dimulai dengan sharing pengalaman dan
perkembangan ke depan terkait dengan gambaran Pembasisan Pancasila tahap ke dua ini dilaksanakan di BSD, 15 Juni 2011.
Melawan senyawa oligarki politik-pemburu rente, poros utama aktor penggerak korupsi dan penjarahan kekayaan alam Indonesia, ini haruslah dimaknai juga sebagai sebuah perang. Perang dalam arti yang sesungguhnya. Layaknya perang melawan penjajah, perang melawan senyawa oligarki politik-pemburu rente ini adalah juga perang untuk membebaskan NKRI ini dari kolonisasi yang dilakukan oleh senyawa oligarki politik-pemburu rente.
Lihatlah betapa besar yang dipertaruhkan dalam kolonisasi NKRI yang dilakukan senyawa oligarki politik-pemburu rente –yang ini bisa kita lihat dari data moderat tergerusnya APBN karena tindak korupsi yang mencapai hampir 30 % besarnya, kekayaan alam Indonesia dari berbagai tambang, minyak, emas, tembaga, batu bara, juga kekayaan hutan, satwa-satwa langka, kekayaan laut dan seterusnya. Maka janganlah kita berpikir bahwa melawan senyawa oligarki politik-pemburu rente di Indonesia itu medan perangnya ada di atas meja. Sekali lagi, ini adalah perang dalam arti yang sesungguhnya.
Maka, kalau sekarang banyak dari kita merasa masghul terhadap kemungkinan hasil akhir perang melawan senyawa oligarki-pemburu rente ini, atau yang dalam faktanya kita merasakan bagaimana korupsi terus berkembang-biak dan merebak seakan tidak pernah merasa kenyang, itu dapat kita lihat juga sebagai gagalnya tiga faktor yang sudah kita sebut di atas, yaitu bagaimana tembakan kepada para koruptor terasa tumpul, pasukan cadangan yang tidak membuat gentar dan ketidak-hadiran seorang pemimpin di medan perang.
Kita lihat bersama bagaimana tembakan kepada para koruptor itu sering dilihat oleh banyak rakyat Indonesia sebagai sebuah pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau istilah-istilah yang muncul sebagai tebang pilih dan pembiaran. Tanpa seorang ahli militer-pun, rakyat sudah merasakan bagaimana tembakan dalam perang melawan koruptor ini tidak berjalan di atas jalur kemenangan. Barisan depan pasukan cadangan yang seharusnya menggetarkan senyawa oligarki-pemburu rente juga seakan lumpuh bahkan sebelum masuk medan pertempuran yang sesungguhnya. Penangkapan hakim, jaksa dan kasus-kasus yang melibatkan aparat kepolisian serta kasus semacam Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, mengindikasikan bagaimana barisan depan pasukan cadangan ini sudah sedemikian rapuh.
Jika tembakan yang dilepas negara terlalu sering tidak dalam jalur kemenangan, maka pada titik tertentu rakyat tentu akan melepaskan tembakan langsung tanpa menunggu aba-aba dari negara. Jika barisan depan pasukan cadangan terus menerus menjadi rapuh, bukan tidak mungkin pada titik tertentu rakyat sebagai pasukan cadangan semesta yang sesungguhnya akan maju bersama masuk dalam medan perang. Inilah salah satu kemungkinan yang harus diperhitungkan ketika kepercayaan terhadap penyelenggara negara semakin mendekati titik nadirnya. Inilah salah satu yang harus diperhitungkan ketika kolonisasi NKRI oleh senyawa oligarki politik-pemburu rente semakin menghimpit kesejahteraan hidup rakyat tetapi pada saat yang sama penyelenggara negara justru terlalu sibuk melindungi punggungnya sendiri daripada punggung rakyat.
Lalu bagaimana dengan kehadiran pemimpin? Atau tepatnya, bagaimana dengan ke-tidak-hadiran pemimpin dalam perang membebaskan NKRI dari kolonisasi NKRI yang dilakukan dengan seakan tanpa pernah merasa kenyang oleh senyawa oligarki politik-pemburu rente sekarang ini? ***
http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=983
Melawan senyawa oligarki politik-pemburu rente, poros utama aktor penggerak korupsi dan penjarahan kekayaan alam Indonesia, ini haruslah dimaknai juga sebagai sebuah perang. Perang dalam arti yang sesungguhnya. Layaknya perang melawan penjajah, perang melawan senyawa oligarki politik-pemburu rente ini adalah juga perang untuk membebaskan NKRI ini dari kolonisasi yang dilakukan oleh senyawa oligarki politik-pemburu rente.
Lihatlah betapa besar yang dipertaruhkan dalam kolonisasi NKRI yang dilakukan senyawa oligarki politik-pemburu rente –yang ini bisa kita lihat dari data moderat tergerusnya APBN karena tindak korupsi yang mencapai hampir 30 % besarnya, kekayaan alam Indonesia dari berbagai tambang, minyak, emas, tembaga, batu bara, juga kekayaan hutan, satwa-satwa langka, kekayaan laut dan seterusnya. Maka janganlah kita berpikir bahwa melawan senyawa oligarki politik-pemburu rente di Indonesia itu medan perangnya ada di atas meja. Sekali lagi, ini adalah perang dalam arti yang sesungguhnya.
Maka, kalau sekarang banyak dari kita merasa masghul terhadap kemungkinan hasil akhir perang melawan senyawa oligarki-pemburu rente ini, atau yang dalam faktanya kita merasakan bagaimana korupsi terus berkembang-biak dan merebak seakan tidak pernah merasa kenyang, itu dapat kita lihat juga sebagai gagalnya tiga faktor yang sudah kita sebut di atas, yaitu bagaimana tembakan kepada para koruptor terasa tumpul, pasukan cadangan yang tidak membuat gentar dan ketidak-hadiran seorang pemimpin di medan perang.
Kita lihat bersama bagaimana tembakan kepada para koruptor itu sering dilihat oleh banyak rakyat Indonesia sebagai sebuah pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau istilah-istilah yang muncul sebagai tebang pilih dan pembiaran. Tanpa seorang ahli militer-pun, rakyat sudah merasakan bagaimana tembakan dalam perang melawan koruptor ini tidak berjalan di atas jalur kemenangan. Barisan depan pasukan cadangan yang seharusnya menggetarkan senyawa oligarki-pemburu rente juga seakan lumpuh bahkan sebelum masuk medan pertempuran yang sesungguhnya. Penangkapan hakim, jaksa dan kasus-kasus yang melibatkan aparat kepolisian serta kasus semacam Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, mengindikasikan bagaimana barisan depan pasukan cadangan ini sudah sedemikian rapuh.
Jika tembakan yang dilepas negara terlalu sering tidak dalam jalur kemenangan, maka pada titik tertentu rakyat tentu akan melepaskan tembakan langsung tanpa menunggu aba-aba dari negara. Jika barisan depan pasukan cadangan terus menerus menjadi rapuh, bukan tidak mungkin pada titik tertentu rakyat sebagai pasukan cadangan semesta yang sesungguhnya akan maju bersama masuk dalam medan perang. Inilah salah satu kemungkinan yang harus diperhitungkan ketika kepercayaan terhadap penyelenggara negara semakin mendekati titik nadirnya. Inilah salah satu yang harus diperhitungkan ketika kolonisasi NKRI oleh senyawa oligarki politik-pemburu rente semakin menghimpit kesejahteraan hidup rakyat tetapi pada saat yang sama penyelenggara negara justru terlalu sibuk melindungi punggungnya sendiri daripada punggung rakyat.
Lalu bagaimana dengan kehadiran pemimpin? Atau tepatnya, bagaimana dengan ke-tidak-hadiran pemimpin dalam perang membebaskan NKRI dari kolonisasi NKRI yang dilakukan dengan seakan tanpa pernah merasa kenyang oleh senyawa oligarki politik-pemburu rente sekarang ini? ***
http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=983
0 comments:
Post a Comment