October 12, 2012 at 8:11am
MEMBANGUN KARAKTER NEGARA PANCASILA
RYAMIZARD RYACUDU
Disampaikan pada acara Diskusi Kebangsaan di Rembang pada tanggal 29 September 2012
PENGANTAR
Pertama-tama
marilah kita ucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kekuatan lahir-batin kepada kita semua sehingga kita
dapat bersama-sama berkumpul di ruangan ini untuk berdiskusi tentang
karakter negara. Semoga diskusi ini bermanfaat bagi kita semua dan
bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Beberapa hari yang lalu
teman-teman saya menghadiahi saya beberapa buku filsafat. Salah satu
dari buku-buku itu adalah tulisan saudara Setyo Wibowo yang mengulas
pikiran filsuf Yunani yang bernama Platon tentang keberanian. Di salah
satu halaman dari buku itu saya menemukan istilah “eristik” yang artinya
menunjuk pada sebuah diskusi atau perdebatan yang dilakukan melulu
untuk kenikmatan berdebat itu sendiri. Apa yang ditulis oleh saudara
Setyo Wibowo kiranya pas sekali untuk memotret keadaan kita sekarang
ini.
Di dalam negara demokrasi setengah matang seperti Indonesia
sekarang ini, hampir setiap hari kita menyaksikan debat publik mengenai
banyak hal di televisi dan koran-koran yang sebagian besar hanya
dilakukan untuk perdebatan itu sendiri. Perdebatan seringkali hanya
menjadi sebuah arena untuk saling membantah tanpa henti dan menghasilkan
“bunyi-bunyian” yang sama sekali terlepas dari kebiasaan bertindak
mereka yang terlibat dalam debat.
Mutu perdebatan juga seringkali
tidak mendidik masyarakat. Perdebatan seringkali hanya menjadi forum
untuk saling memukul dan jauh dari kearifan untuk mencari solusi dan
kebenaran. Mudah-mudahan diskusi hari ini, yang dihadiri oleh adik-adik
pewaris masa depan bangsa, dapat terhindar dari sindrom “erestik” tadi.
Marilah kita upayakan agar kita dapat keluar dari kemelut yang
ditimbulkan oleh demokrasi setengah matang sekarang ini; dan menuju
kearah demokrasi yang matang, demokrasi yang didukung oleh “arete” atau
keutamaan para pengembannya.
NEGARA PANCASILA
Term of Reference
diskusi yang saya terima bersama-sama dengan undangan untuk menjadi
salah satu nara-sumber dalam diskusi hari ini, dengan cukup jelas
mengatakan bahwa NKRI adalah negara yang dibentuk dengan sengaja
oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia lahir lebih dulu, baru kemudian
NKRI. Bangsa Indonesia dengan sengaja membentuk NKRI untuk (1)
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, (2) memajukan
kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia. Negara terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila untuk mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semuanya dengan
gamblang dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945.
Yang perlu ditegaskan di sini adalah, NKRI yang dibentuk oleh bangsa Indenesia itu adalah bukan negara yang dibentuk tanpa tujuan.
NKRI tidak dibentuk begitu saja yang tujuannya diserahkan kepada
penyelenggara kekuasaan negara yang terpilih; atau dengan kata lain,
penyelenggara kekuasaan negara tidak dipilih dengan “mandat kosong”
untuk dengan semaunya menentukan arah kemudi negara.
Dalam
konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945, Pancasila adalah dasar negara
yang menjadi pokok kaidah fundamental negara dan menjadi norma tertinggi
dalam hirarkhi sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Pancasila
merupakan norma dasar yang menciptakan semua norma-norma yang lebih
rendah dalam sistem norma hukum. Pancasila seharusnya juga menentukan
berlaku atau tidaknya norma-norma hukum yang ada di bawahnya itu.
Dalam
konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945 itu Pancasila diwujudkan melalui
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan negara (konstitusi, undang-undang
negara, peraturan pemerintah, dan seterusnya) serta terungkap dalam
praktek dan kebiasaan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara,
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dari pokok-pokok pikiran
ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi di sini tentang bagaimana
nilai-nilai Pancasila terwujud dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia, yaitu
- Negara Pancasila akan terwujud apabila kebijakan negara (konstitusi, undang-undang negara, peraturan-peraturan pemerintah, dan seterusnya) yang diterbitkan sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan
- Praktik-praktik dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara menjalankan dengan benar semua kebijakan negara yang sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila tersebut
Memang benar kalau perwujudan Pancasila
itu akan menjadi lebih sempurna kalau didukung oleh moral
individu-individu warga negara yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Tetapi yang harus selalu diingat adalah bahwa yang primer Pancasila itu
adalah dasar negara, Pancasila adalah “moral negara” yang seharusnya mengatur perilaku negara.
Kalau Pancasila juga dikehendaki menjadi “kaidah moral individual”
tiap-tiap warga negara itu sifatnya sekunder. Pertama-tama perhatian
kita haruslah ditujukan kepada yang primer, baru kemudian kepada yang
sekunder. Kritik kita pun pertama-tama haruslah ditujukan kepada yang primer,
bukan kepada yang sekunder. Ilustrasi berikut dengan sederhana dapat
memberikan gambaran mengapa perhatian kita pertama-tama harus kita
tujukan kepada yang primer, bukan kepada yang sekunder: Kalau anak saya
tidak mengerti patriotisme, sebagai seorang prajurit hati saya memang
sangat sedih; tetapi bangsa ini tidak akan runtuh hanya karena
ketidakmengertian anak saya. Tetapi kalau yang tidak mengerti patriotisme adalah negara maka dampaknya kepada nasib bangsa akan memilukan. Bangsa ini akan menjadi budak dan bulan-bulanan bangsa-bangsa lain di tengah-tengah arus globalisasi yang mendera.
Pertanyaan
berikutnya yang kemudian muncul adalah: Lalu di mana posisi dan
kewajiban warga negara dalam mewujudkan Pancasila? Kewajiban pokoknya
adalah menjalankan kebijakan negara yang berupa peraturan-peraturan
negara. Apabila seorang warga negara dengan benar sudah menjalankan
peraturan-negara yang benar, yaitu peraturan-peraturan negara yang
memang sudah sesuai dengan Pancasila, maka dengan melaksanakan
peraturan-peraturan itu warga negara tersebut dengan sendirinya sudah
melaksanakan Pancasila. Persoalan baru timbul ketika warga negara
tersebut harus melaksanakan peraturan-peraturan negara yang tidak benar,
yaitu peraturan-peraturan negara yang tidak sesuai atau bahkan
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kalau ia tetap melaksanakan
peraturan-peraturan negara yang bertentangan dengan Pancasila tersebut
sama artinya dengan ikut mengubur Pancasila. Tetapi kalau ia tidak
melaksanakan atau bahkan melawan peraturan-peraturan yang bertentangan
dengan Pancasila tersebut sama artinya dengan menjadi warga negara yang
tidak baik. Dihadapkan pada persoalan seperti ini, seorang warga negara
yang kritis akan menghadapi dilema. Manakah yang harus diturut? Menjadi
warga negara yang baik tapi ikut mengkhianati Pancasila ataukah menjadi
pemeluk teguh Pancasila tapi menjadi warga negara yang tidak baik.
Jawaban atas “teka-teki” ini saya serahkan kepada saudara-saudara di
sini.
KARAKTER NEGARA PANCASILA
Kalau
seseorang harus mengambil keputusan dalam situasi sulit atau menghadapi
dilema seperti warga negara yang harus memilih “tetap menjadi
Pancasilais tapi melawan peraturan negara ataukah tetap menjalankan
peraturan negara yang bertentangan dengan Pancasila,” maka pilihannya
itu sangat ditentukan pertama-tama oleh karakter yang dimiliki oleh
orang tersebut, bukan oleh pengetahuan atau keahlian teknisnya.
Demikian
juga negara. Kalau suatu negara harus mengambil keputusan dalam situasi
sulit atau situasi dilematis maka pilihan keputusannya juga sangat
ditentukan oleh karakter yang dimiliki oleh negara tersebut. Negara
dapat memilih jalan yang gampang bagi pemerintah tapi menyulitkan
masyarakat atau sebagian masyarakat; dan negara juga dapat memilih jalan
yang sulit dan terjal yang harus dilalui pemerintah tapi dirasakan adil
dan menenangkan masyarakat. Apakah negara akan memangkas subsidi BBM
untuk merespons melambungnya harga minyak dunia dan meminta rakyatnya
untuk “sedikit menderita” atau negara akan mencari jalan lain yang sulit
dan mungkin juga membahayakan dirinya untuk mempertahankan
kesejahteraan rakyatnya. Keputusan akhirnya sangat ditentukan oleh
karakter negara saat ini, bukan semata-mata atas hitungan angka-angka di
atas kertas.
Seorang kapten kapal, ketika melihat kapalnya dalam
keadaan bahaya dan mulai tenggelam, yang harus dipikirkan lebih dulu
adalah keselamatan penum-pang, baru kenudian keselamatan crew, dan yang
terakhir keselamatan dirinya. Ketika kapal berada dalam keadaan sulit,
seorang kapten kapal tidak pernah menghitung-hitung untung-rugi untuk
keselamatan penumpang-penumpangnya. Sebagai orang terakhir yang keluar
dari kapal, mungkin ia akan menghadapi bahaya yang lebih besar dari
lainnya. Etos kerja seorang kapten kapal inilah yang seharusnya menjadi
etos kerja negara. Ketika negara harus mengambil keputusan dalam situasi
sulit atau situasi dilematis, yang pertama kali harus dipikirkan adalah
bagaimana meringankan beban rakyat meskipun ada risiko yang besar yang
harus dihadapi pemerintah. Pemerintah jangan melulu mencari jalan mudah
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan negara dan membebankan bagian yang
terberat kepada rakyatnya.
Di depan sudah saya katakan bahwa
Pancasila sebagai dasar negara haruslah mengatur “moral negara,”
mengatur perilaku negara; dan oleh karenanya haruslah tercermin dalam
karakter negara. Dalam praktek sehari-hari, karakter negara akan
terungkap pada semangat dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan
negara dalam membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan
negara. Kalau semangat dan kebiasaan bertindak sehari-hari penyelenggara
kekuasaan negara adalah semangat dan kebiasaan bertindak untuk
memanfaatkan negara sebagai alat untuk memperkaya diri dan memupuk
kekuasaan kelompoknya sendiri –seperti yang hampir tiap hari diungkap
televisi dan media-massa lainnya, jelas itu tidak mencerminkan karakter
negara Pancasila, Rakyat menyangsikan kejujuran negara. Kalau
penyelenggara kekuasaan negara juga selalu mencari jalan mudah bagi
dirinya sendiri dan membebankan yang berat kepada rakyat, itu pun tidak
mencerminkan karakter negara Pancasila. Rakyat menyangsikan ketabahan
dan keuletan negara dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Rakyat juga
menyangsikan keberanian negara untuk selalu setia kepada Pancasila dan
konstitusi negara dalam menghadapi tekanan-tekanan politik domestik
maupun global. Karena rakyat hanya melihat dan merasakan kehadiran
negara dari apa yang dikerjakan oleh pemerintah dan penyelenggara
kekuasaan negara lainnya, maka rakyat pun bisa sampai pada ke-simpulan:
negara tidak lagi memiliki karakter.
Di bawah tekanan globalisasi
sekarang ini, lebih-lebih dengan keterpurukan perekonomian Indonesia
dalam krisis moneter 1997-98, sangat sulit bagi negara untuk menegakkan
kedaulatannya. Para penyelenggara kekuasaan negara nampaknya sudah tidak
sanggup lagi untuk mengoperasikan Pancasila dalam pembuatan maupun
pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Pembuatan kebijakan negara
sekarang ini lebih merujuk pada keinginan dan tekanan Dana Moneter
Internasional (IMF) serta negara-negara adidaya; dan pelaksanaan-nya
mengikuti keinginan dan kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam
kekuasaan negara. Dan sekarang, meskipun reformasi sudah berlangsung
lebih dari tiga belas tahun, Indonesia masih belum dapat mewujudkan
kedaulatannya. Hanya negara yang mempunyai karakter yang dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan seperti ini.
Untuk membangun
karakter negara Pancasila, paling tidak ada dua jalan yang dapat
ditempuh. Pertama, dengan mengajukan “permohonan” kepada para
penyelenggara kekuasaan negara untuk dengan sukarela mengubah dan
membangun inner qualities atau standar-standar moral yang tinggi dalam
menjalankan tugas-tugasnya serta menghindari kebiasaan bertindak yang
memperalat atau memanipulasi negara untuk kepentingannya sendiri.Kedua,
dapat dilakukan dengan mengerahkan kekuatan masyarakat untuk melakukan
kontrol terhadap pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
yang baru serta meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang sudah
diberlakukan tetapi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Apabila
negara bekerja di bawah pengawasan ketat rakyatnya, ini akan mendorong
negara untuk memperbaiki dan mengembangkan inner qualities-nya,
mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Karakter negara akan
terbangun ketika kontrol masyarakat berhasil “memaksa” penyelenggara
kekuasaan negara mengubah dan mengembangkan inner qualities-nya.
PENUTUP
Sebagai
penutup saya ingin menegaskan bahwa membangun karakter negara adalah
bagian dari membangun diri kita sendiri; dan oleh karenanya membangun
karakter negara adalah menjadi tugas kita semuanya. Founding Fathers
negara kita telah dengan susah payah membidani lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan sekarang menjadi tugas kita untuk merawatnya.
Suatu bangsa akan menjadi besar dan kuat bukan oleh bangsa lain,
demikian juga lemah dan hancurnya juga bukan oleh bangsa lain, melainkan
oleh bangsa itu sendiri. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk ikut-ikut urun rembug dalam
diskusi siang hari ini.
Rembang, 29 September 2012